Minggu, 16 Juni 2013

Ritual Pagi

Jam bangun pagi kedua anak saya, Azka Zahra (5 thn 2 bulan) dan Khalif (1.5 thn) hampir selalu bersamaan dengan saya,  kadang malah mereka yang lebih dulu bangun. Bukan karena saya bangun siang lho tapi mereka yang bangun lebih pagi dari kebanyakan anak seusianya. Seperti beberapa hari lalu, saya terbangun karena Khalif memanggil-manggil. “Ma! Mama!” Dengan mata setengah terpejam saya menjawab ya. Tak lama terdengar teriakan Azka,”Mama, bangun nanti dedenya jatuh,” seketika saya bangun dan  menangkap Khalif yang tengah berdiri di  tempat tidur dan melempar  senyum sambil berkata,”Mama!”
Khalif merengek saat dilepaskan dari gendongan untuk mandi. Karena rengekannya  suasana pagi yang sebetulnya biasa menjadi luar biasa karena saya menjadi panik dan merasa riweuh. Ya, menginjak usia 10 bulan Khalif mulai mengerti mamanya  akan  pergi bekerja dan dia menangis ketika saya pergi bekerja.
Sementara si sulung Azka  kadang tidak mau kalah manja dengan rajukan khasnya,“Mama, jangan kerja.  ” Acara mandi pagi menjadi tertunda karena saya harus meredakan rajukannya  dengan memberi pengertian yang hampir setiap kali diulang.
“Ini hari apa, Ma?” tanya Azka.
“Hari senin.”
“ Kalau hari sabtu dan minggu Mama libur gak kerja jadi kita bisa jalan-jalan ya, Ma.”
Saya mengangguk. Azka pun lari masuk kamar depan, di mana suami saya tertidur. “Bi! Abi,   teman aku besok ulang tahun di sekolah, namanya Memey. Abi aku mau ulang tahun di sekolah.” Terdengar suara Azka yang mau tidak mau membuat suami saya terbangun.
Sebenarnya ada cara mudah untuk mengatasi rasa manja dan rengekan keduanya, yaitu memberi mereka tontonan tv, tapi saya tidak melakukannya kecuali kepepet. Karena waktu yang saya miliki untuk mereka harus terpotong kerja, maka setiap waktu yang saya bersama  anak-anak haruslah berkualitas tidak teralihkan tontonan agar bonding kami erat.
Selesai mandi saya memandikan Azka  karena jam 7 pagi jemputan sekolah akan datang menjemputnya. Khalif di pegang mba pengasuhnya. Lalu saya menyiapkan sarapan praktis seperti nasi goreng, omelet telur, roti atau sereal.  Azka akan mengikuti ke dapur membantu menyiapkan sarapan. Keinginan Azka membantu menyiapkan sarapan awalnya saya tolak. Tak terbayangkan tumpahan meses, sereal atau mentega yang menempel di sana-sini.
“Biarin aja Ma, sekalian Azka belajar,” kata suami.
“Malah jadi berantakan dan kotor. Belajar nanti saja kalau sudah sd,” elak saya.
Suami memandang dengan sorot tak suka lalu katanya,”Berantakan bisa diberesin dan  di lap.”
Untuk beberapa hal dan suami memang kerap beda pendapat terutama soal coba mencoba hal baru yang beresiko membuat kotor dan berantakan.

Mengerti dirinya di bela papanya, Azka merengek meminta menyiapkan roti mesesnya sendiri. Dengan berat hati  saya menyetujui ide suami, membiarkan Azka membantu dan menyiapkan kesabaran ekstra. Bersiap dengan tumpahan susu, karena Azka selalu meminta membuatkan susu untuk saya dan Abinya. Mengoles roti dengan mentega yang mengenai tangannya, parutan keju yang jatuh di meja, menaburkan meses – yang lebih banyak tertabur di lantai. Dan Azka akan tergelak dengan senang hati saat baju atau bagian tubuhnya tertempel meses,  mentega atau selai kacang.
“Lihat Ma, mesesnya kena baju aku. Harusnya mama beliin aku baju masak donk,” kata Azka mengingatkan saya.

“Oh iya, ya.  Eh, Mama punya kok baju masak,”saya mengeluarkan baju dari rak paling bawah dan mengenakannya pada Azka.”Aku jadi koki cilik donk, Ma.” Azka tersenyum bangga.
Mengenakan baju masak tidak serta merta membuat Azka bersih. Bajunya mungkin terlindungi tapi tangan, taplak meja dan lantai belepotan.Tapi kecerian di wajah Azka membuat saya tidak menghiraukan itu. 
Akhirnya melibatkan Azka dalam menyiapkan sarapan menjadi ritual setiap pagi.  
Ritual lain sebelum berangkat bekerja adalah mengajak Azka dan Khalif berkeliling melewati beberapa deretan rumah tetangga dengan motor lalu kami berpelukan sebelum berpisah. Tanpa diduga  ritual itu  yang mempererat bonding kami.

 “Dadah, Mama! Dadah Abi! Hati-hati di jalan, ya!” Pesan Azka sambil berteriak setiap saya hendak pergi. Pesan yang ulang dengan teriakan lebih kencang saat motor yang saya kendarai berbelok hingga lepas dari pandangannya. Pesan yang membuat saya tidak lupa untuk berdoa untuk keselamatan saya, suami dan anak-anak yang saya tinggal pergi. Pesan yang selalu membuat kerinduan saya terhadap mereka kian besar. Terima kasih, Nak, Mama sayang kalian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar