Jam bangun pagi
kedua anak saya, Azka Zahra (5 thn 2 bulan) dan Khalif (1.5 thn) hampir selalu
bersamaan dengan saya, kadang malah
mereka yang lebih dulu bangun. Bukan karena saya bangun siang lho tapi mereka
yang bangun lebih pagi dari kebanyakan anak seusianya. Seperti beberapa hari
lalu, saya terbangun karena Khalif memanggil-manggil. “Ma! Mama!” Dengan mata
setengah terpejam saya menjawab ya. Tak lama terdengar teriakan Azka,”Mama,
bangun nanti dedenya jatuh,” seketika saya bangun dan menangkap Khalif yang tengah berdiri di tempat tidur dan melempar senyum sambil berkata,”Mama!”
Khalif merengek
saat dilepaskan dari gendongan untuk mandi. Karena rengekannya suasana pagi yang sebetulnya biasa menjadi
luar biasa karena saya menjadi panik dan merasa riweuh. Ya, menginjak usia 10
bulan Khalif mulai mengerti mamanya akan
pergi bekerja dan dia menangis ketika
saya pergi bekerja.
Sementara si
sulung Azka kadang tidak mau kalah manja
dengan rajukan khasnya,“Mama, jangan kerja.
” Acara mandi pagi menjadi tertunda karena saya harus meredakan rajukannya
dengan memberi pengertian yang hampir
setiap kali diulang.
“Ini hari apa, Ma?” tanya Azka.
“Hari senin.”
“ Kalau hari sabtu dan minggu Mama
libur gak kerja jadi kita bisa jalan-jalan ya, Ma.”
Saya
mengangguk. Azka pun lari masuk kamar depan, di mana suami saya tertidur. “Bi!
Abi, teman aku besok ulang tahun di
sekolah, namanya Memey. Abi aku mau ulang tahun di sekolah.” Terdengar suara
Azka yang mau tidak mau membuat suami saya terbangun.
Sebenarnya ada
cara mudah untuk mengatasi rasa manja dan rengekan keduanya, yaitu memberi
mereka tontonan tv, tapi saya tidak melakukannya kecuali kepepet. Karena waktu
yang saya miliki untuk mereka harus terpotong kerja, maka setiap waktu yang
saya bersama anak-anak haruslah
berkualitas tidak teralihkan tontonan agar bonding
kami erat.
Selesai mandi
saya memandikan Azka karena jam 7 pagi
jemputan sekolah akan datang menjemputnya. Khalif di pegang mba pengasuhnya. Lalu
saya menyiapkan sarapan praktis seperti nasi goreng, omelet telur, roti atau
sereal. Azka akan mengikuti ke dapur
membantu menyiapkan sarapan. Keinginan Azka membantu menyiapkan sarapan awalnya
saya tolak. Tak terbayangkan tumpahan meses, sereal atau mentega yang menempel
di sana-sini.
“Biarin aja Ma, sekalian Azka
belajar,” kata suami.
“Malah jadi berantakan dan kotor.
Belajar nanti saja kalau sudah sd,” elak saya.
Suami memandang dengan sorot tak
suka lalu katanya,”Berantakan bisa diberesin dan di lap.”
Untuk beberapa hal dan suami
memang kerap beda pendapat terutama soal coba mencoba hal baru yang beresiko
membuat kotor dan berantakan.
Mengerti dirinya di bela papanya,
Azka merengek meminta menyiapkan roti mesesnya sendiri. Dengan berat hati saya menyetujui ide suami, membiarkan Azka membantu
dan menyiapkan kesabaran ekstra. Bersiap dengan tumpahan susu, karena Azka
selalu meminta membuatkan susu untuk saya dan Abinya. Mengoles roti dengan
mentega yang mengenai tangannya, parutan keju yang jatuh di meja, menaburkan
meses – yang lebih banyak tertabur di lantai. Dan Azka akan tergelak dengan
senang hati saat baju atau bagian tubuhnya tertempel meses, mentega atau selai kacang.
“Lihat Ma, mesesnya kena baju aku.
Harusnya mama beliin aku baju masak donk,” kata Azka mengingatkan saya.
“Oh iya, ya. Eh, Mama punya kok baju masak,”saya
mengeluarkan baju dari rak paling bawah dan mengenakannya pada Azka.”Aku jadi
koki cilik donk, Ma.” Azka tersenyum bangga.
Mengenakan baju masak tidak serta
merta membuat Azka bersih. Bajunya mungkin terlindungi tapi tangan, taplak meja
dan lantai belepotan.Tapi kecerian di wajah Azka membuat saya tidak
menghiraukan itu.
Akhirnya melibatkan Azka dalam
menyiapkan sarapan menjadi ritual setiap pagi.
Ritual lain sebelum berangkat
bekerja adalah mengajak Azka dan Khalif berkeliling melewati beberapa deretan
rumah tetangga dengan motor lalu kami berpelukan sebelum berpisah. Tanpa
diduga ritual itu yang mempererat bonding kami.
“Dadah, Mama! Dadah Abi! Hati-hati di jalan,
ya!” Pesan Azka sambil berteriak setiap saya hendak pergi. Pesan yang ulang
dengan teriakan lebih kencang saat motor yang saya kendarai berbelok hingga
lepas dari pandangannya. Pesan yang membuat saya tidak lupa untuk berdoa untuk
keselamatan saya, suami dan anak-anak yang saya tinggal pergi. Pesan yang
selalu membuat kerinduan saya terhadap mereka kian besar. Terima kasih, Nak,
Mama sayang kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar